Legal Writings and Opinions
Welcome to Potu and Partners Law Office reading room. Get new legal knowledge here
KEKHILAFAN DALAM SUATU PERJANJIAN
​
Perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda overeenkomst yang berasal dari kata kerja overeenkomen, artinya setuju atau sepakat. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan mengenai empat syarat, yaitu :
-
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbiden);
-
Kecakapan guna melaksanakan perbuatan hukum (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan);
-
Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
-
Adanya sebab yang halal (geoorloofde oorzaak).
Syarat pertama dan kedua menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda. Tidak dipenuhinya syarat subjektif konsekuensinya adalah perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan tidak dipenuhinya syarat objektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietig).
Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tiga tahapan, yaitu:
-
Pra contractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang tercakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;
-
Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengisi dan mengikat kedua belah pihak;
-
Post contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak–hak dan kewajiban- kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.
Pada praktiknya, seringkali hasil kesepakatan dalam perjanjian adalah hasil kekhilafan (dwaling) atau kesesatan. Kesepakatan memang terjadi, tetapi di dalam kesepakatan misalnya mengandung unsur tersebut. Kesepakatan yang demikian mengandung cacat kehendak.
Kekhilafan atau kesesatan dalam pembentukan kata sepakat dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) klasifikasi yakni :
-
Kekhilafan dalam Motif;
-
Kekhilafansemua (oneigenlijkedwaling);
-
Kekhilafan yang sebenarnya (eigenlijke dwaling).
Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya (error in persona) atau keliru mengenai barangnya (error in substantia). Selain daripada itu, dalam hal adanya kekhilafan itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat yaitu :
-
Dapat diketahui, artinya pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui sebagai manusia yang normal bahwa telah terjadi kekhilafan;
-
Dapat dimaafkan, yaitu kekhilafan tidak dapat dimintakan kalau orang yang meminta itu berdasarkan kebodohannya; dan
-
Kekhilafan hanya mungkin ada pada saat terjadinya perjanjian atau sudah ada, dan bukan yang akan ada di kemudian hari.
Dengan demikian, kekhilafan dapat terjadi apabila salah satu pihak atau para pihak memiliki gambaran yang keliru atas objek atau subjek yang membuat perjanjian.
Adanya kekhilafan atau kesesatan dalam pembentukan kata sepakat, bedasarkan ketentuan pada pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengakibatkan batalnya (nietig). Dikaitkan dengan persyaratan sahnya kontrak atau perjanjian berdasar pasal 1320 KUHPerdata, kesesatan atau kekhilafan ini berkaitan dengan tidak lengkapnya persyaratan subjektif. Tidak lengkap persyaratan subjektif hanya berakibat pada dapat dibatalkanya perjanjian.
​
Dengan kata lain, bila suatu Perjanjian “Dapat diBatalkan” maka bisa menjadi dua kemungkinan :
-
Sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat adanya permintaan untuk membatalkannya; atau
-
Sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak ada perjanjian yang batal.
Dalam hal dibatalkan, maka kedua belah pihak dibawa dalam keadaan sebelum perjanjian diadakan. Pembatalan ini berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima oleh satu pihak harus dikembalikan pada pihak yang lainnya. Hal ini sesuai Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yag menentukan bahwa pihak yang merasa perjanjian tidak dipenuhi boleh memilih apakah ia akan memaksa pihak yang lainnya untuk memenuhi perjanjian, atau ia akan menuntut pembatalan perjanjian itu disertai penggantian biaya, rugi dan bunga.
Suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak. Perjanjian yang dimintakan pembatalannya tersebut harus dengan kesepakatan semua pihak atau menurut pernyataan (aanwijzing) Undang-Undang cukup memberikan alasan mengapa meminta pembatalan perjanjian tersebut guna dapat membatalkan perjanjian itu.
Meminta pembatalan oleh Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 (lima) tahun, yang mulai berlaku (dalam hal ketidak cakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.
Gesang Taufikurochman, S.H.
Paralegal Potu and Partners Law Office
Urgensi Perjanjian Pra Nikah
​
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang sah. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
​
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”
​
Harmonisasi dalam perkawinan merupakan salah satu faktor terciptanya kehidupan rumah tangga yang sejahtera, penuh kasih sayang, dan berlandaskan komitmen bersama. Namun, dalam menyatukan dua orang yang memiliki perbedaan latar belakang keluarga yang berbeda, perlu adanya suatu kesepakatan yang mengikat antara keduanya untuk menciptakan komitmen bersama. Perjanjian pra nikah merupakan salah satu opsi untuk menjaga hubungan harmonis dalam pernikahan. Perjanjian pra nikah juga dijelaskan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menerangkan:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”
​
Perjanjian pra nikah merupakan persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian pra nikah bertujuan untuk memisahkan harta, utang, dan melindungi kepentingan istri juga suami. Perjanjian Perkawinan juga dijelaskan dalam Pasal 139 BW yang menyebutkan bahwa:
​
“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini”
​
Suatu perjanjian pra nikah dibuat dengan memperhatikan beberapa kondisi dalam hubungan antara suami dan istri. Menurut Haedah Faradz dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8, perjanjian pra nikah dibuat jika terdapat kondisi sebagai berikut:
-
Jika terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak;
-
Apabila keduanya memiliki pemasukan yang cukup besar;
-
Masing-masing pihak memiliki usaha sendiri, perjanjian dibuat agar pihak lain tidak tersangkut apabila pihak lainnya pailit;
-
Salah satu atau kedua pihak memiliki utang sebelum kawin dan hendak bertanggung jawab sendiri.
Jika dalam suatu pernikahan terdapat kondisi yang memungkinkan untuk dibuatnya sebuah perjanjian pra nikah, maka terdapat beberapa yang dapat diatur dalam Perjanjian Perkawinan, yaitu:
-
Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah ataupun warisan;
-
Semua hutang dan piutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka, sehingga akan tetap menjadi tanggung jawab masing-masing atau tanggung jawab keduanya dengan pembatasan tertentu;
-
Hak istri untuk mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dengan tugas menikmati hasil serta pendapatan dari pekerjaannya sendiri atau dari sumber lain;
-
Kewenangan istri dalam mengurus hartanya, agar tidak memerlukan bantuan atau pengalihan kuasa dari suami;
-
Pencabutan wasiat, serta ketentuan-ketentuan lain yang dapat melindungi kekayaan maupun kelanjutan bisnis masing-masing pihak (dalam hal salah satu atau keduanya merupakan pendiri usaha, pemimpin perusahaan atau pemilik bisnis).
Walaupun isi dari perjanjian pra nikah tidak diatur secara spesifik, terdapat sejumlah hal dalam Burgerlijk Wetboek yang dilarang yaitu seperti:
-
Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 139 Burgerlijk Wetboek);
-
Tidak boleh mengurangi hak suami (Pasal 140 Burgerlijk Wetboek);
-
Tidak boleh mengatur warisan (Pasal 141 Burgerlijk Wetboek);
-
Tidak boleh berat sebelah dalam hal utang (Pasal 142 Burgerlijk Wetboek);
-
Tidak boleh menggunakan hukum “asing” sebagai dasar hukum perkawinan (Pasal 143 Burgerlijk Wetboek);
​
Moch. Febriansyah, S.H.
Paralegal Potu And Partners Law Office
Hak Guna Bangunan di Laut apakah bisa ?
Indonesia merupakan salah satu negara maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia, yang mana garis pantainya mencapai 95.181 km. Sekitar tiga perempat wilayah Indonesia terdiri dari perairan, yang menyimpan berbagai sumber daya yang melimpah serta memberikan manfaat besar bagi kehidupan manusia. Namun Seiring perkembangan aktivitas sosial-ekonomi, pemanfaatan wilayah pesisir terus berkembang, sehingga muncul tantangan dalam penyediaan lahan bagi kebutuhan masyarakat.
Dalam dinamika penyediaan lahan bagi masyarakat Indonesia, belakangan ini sempat muncul kontroversi yang menjadi pembahasan di masyarakat berkaitan dengan fenomena pagar laut dan penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di laut pada suatu wilayah di Indonesia, yang membuat masyarakat mempertanyakan legalitas pemberian hak atas tanah tersebut.
Indonesia sebagai negara hukum mengatur tentang kepemilikan dan hak-hak lain atas tanah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering disebut UUPA. Pengaturan mengenai hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa:
Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
-
hak milik,
-
hak guna-usaha,
-
hak guna-bangunan,
-
hak pakai,
-
hak sewa,
-
hak membuka tanah,
-
hak memungut-hasil hutan,
-
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Untuk selanjutnya, mengenai Hak Guna Bangunan sendiri diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa:
Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Bahwa untuk mendapatkan Hak Guna Bangunan, juga perlu memperhatikan Objek apa yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan itu sendiri, Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa:
Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan meliputi:
-
Tanah Negara;
-
Tanah Hak Pengelolaan; dan
-
Tanah hak milik.
Untuk selanjutnya dalam Pasal 38 PP No 18 Tahun 2021 juga menjelaskan bahwa:
-
Hak guna bangunan di atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri.
-
Hak guna bangunan di atas Tanah Hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri berdasarkan persetujuan pemegang Hak Pengelolaan.
-
Hak guna bangunan di atas Tanah hak milik terjadi melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
-
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 dan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat secara elektronik.
Sehingga berdasarkan Peraturan PerUndang-Undagan tersebut tidak menyebutkan bahwa laut merupakan objek yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan. Sedangkan secara definisi dalam pasal 1 Undang-Undang No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan menyebutkan bahwa:
Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
​
Oleh karena pada prinsipnya laut merupakan res nullius yang artinya laut bukanlah milik siapapun dan laut juga merupakan res communis yang artinya laut merupakan milik bersama yang mana dapat dinikmati oleh siapapun, sehingga laut bukanlah Objek yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan.
Namun, situasi berubah apabila wilayah laut telah mengalami reklamasi. Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai dianggap sebagai salah satu metode untuk memperluas wilayah kota. Umumnya, reklamasi dilakukan oleh negara atau kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan pesat dan peningkatan kebutuhan lahan, tetapi menghadapi keterbatasan lahan yang tersedia. Kondisi ini membuat perluasan ke daratan menjadi tidak mungkin, sehingga diperlukan pembentukan daratan baru. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah perluasan secara vertikal, seperti pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan rumah susun.
Menurut Pasal 1 Angka 23 UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa :
“Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.”
Dan perlu diperhatikan bahwa Reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU No 27 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa :
Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
Pelaksanaan Reklamasi juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU No 27 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa :
Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
-
keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
-
keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta
-
persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
Proses reklamasi memerlukan berbagai perizinan, termasuk izin lokasi reklamasi, izin pelaksanaan reklamasi, dan keputusan pemberian hak atas tanah. Lokasi reklamasi ditentukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, perencanaan reklamasi harus memperhitungkan kajian lingkungan hidup strategis, ketersediaan infrastruktur, akses publik, fasilitas umum, dan keseimbangan ekosistem.
Studi kelayakan reklamasi mencakup tiga aspek utama:
-
Teknis, mencakup hidro-oceanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, dan geoteknik.
-
Ekonomi-finansial, termasuk analisis manfaat dan biaya (Benefit Cost Ratio), nilai bersih perolehan saat ini (Net Present Value), tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return), dan evaluasi ekonomi lingkungan.
-
Lingkungan hidup, memastikan reklamasi tidak merusak ekosistem pesisir dan keseimbangan lingkungan.
Rancangan detail reklamasi melibatkan persiapan lahan, pembangunan prasarana dan fasilitas pendukung, pemerataan tanah, pembuatan pemecah gelombang, pengangkutan material reklamasi, perbaikan tanah dasar, serta pembangunan sistem drainase.
Dalam hal perizinan, pihak yang hendak melakukan reklamasi wajib mengantongi izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi. Pengecualian diberikan untuk reklamasi di Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan, wilayah pertambangan, serta kawasan hutan untuk pemulihan lingkungan. Izin dapat diajukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, gubernur, atau bupati/walikota, tergantung pada kewenangan masing-masing.
Setelah mendapatkan izin lokasi, pemohon harus menyusun rencana induk, studi kelayakan, dan rancangan detail reklamasi dalam waktu maksimal dua tahun. Selanjutnya, izin pelaksanaan reklamasi diajukan dengan melampirkan berbagai dokumen, termasuk izin lingkungan dan studi kelayakan teknis serta ekonomi. Jika dalam waktu 45 hari kerja permohonan tidak ditindaklanjuti, maka izin dianggap diberikan secara otomatis.
Setelah seluruh proses reklamasi selesai, pihak yang melaksanakannya dapat mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI).
Adrian Cakhalino, S.H.
Paralegal Potu and Partners
Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik
Hubungan antara dokter dengan pasien sejatinya merupakan hubungan yang tidak seimbang atau dengan kata lain hubungan yang timbul antara orang yang membutuhkan suatu pertolongan dengan orang yang memberikan pertolongan tersebut. Untuk menyeimbangkan hubungan antara dokter dengan pasiennya diperlukan suatu perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Terapeutik. Perjanjian Terapeutik yang merupakan perjanjian antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk memberikan dan melakukan upaya maksimal (inspaning verbintenis) dalam pelayanan medis dan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan informed consent yang telah disepakati antara pasien dengan dokter atau dokter gigi. Sebab seyogyanya informed consent dalam suatu perjanjian terapeutik menurut Harmien Hadiati Koswadji bertumpu pada 2 hak, yakni hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas dasar informasi.
Informed consent dalam perjanjian terapeutik merupakan kesepakatan / persetujuan pasien untuk dilakukannya suatu tindakan kedokteran oleh dokter, yang mana dapat dilakukan dalam :
-
Bentuk tertulis maupun lisan; serta
-
Dapat tidak dilakukan apabila pasien tidak cakap dan memerlukan tindakan Gawat Darurat.
Tujuan adanya informed consent dalam perjanjian terapeutik ditujukan agar pasien sebelum atau dalam mengambil suatu kesepakatan / persetujuan dilakukannya tindakan kedokteran telah mengetahui semua informasi yang dibutuhkan terkait tindakan kedokteran, dimana dalam hal ini merujuk pada :
a. diagnosa yang diberikan;
b. indikasi;
c. sifat dan tujuan dari tindakan kedokteran yang akan dilakukan;
d. resiko dari dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan kedokteran;
e. alternatif tindakan lain beserta resiko;
f. biaya atas dilakukannya tindakan kedokteran; dan
g. prognosis setelah tindakan kedokteran dilakukan
Di Indonesia, peraturan mengenai informed consent diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/ PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran; dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang merujuk pada ketentuan :
-
Pasal 4 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
“Setiap orang berhak untuk memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya, termasuk tindakan dan pengobatan yang telah ataupun yang akan diterimanya dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan”
-
Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
“Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus mendapatkan persetujuan” (Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023);
-
Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
-
“Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.”
-
“Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. ”
-
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
“Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan”
Berkenaan dengan pemberian informed consent terhadap pasien, seorang dokter wajib melakukannya tanpa memperdaya, menekan, atau menciptakan ketakutan bagi pasien tersebut, baik dalam keadaan normal maupun keadaan darurat. Apabila pemberian informed consent dalam hal ini diketahui tidak memenuhi salah satu dari ketiga hal diatas, maka informed consent yang diberikan kepada pasien dapat dikatakan cacat hukum dan dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tenaga medis dan/atau dokter atau dokter gigi dalam hal ini tidak memberikan informed consent dengan sebenar-benarnya kepada pasien. Sebab informed consent pada dasarnya merupakan aspek penting dalam perjanjian terapeutik, dimana perjanjian terapeutik dan informed consent menurut Burgerlijk Wetboek termasuk dalam Perjanjian tidak bernama (innominaat), yang diatur dalam Pasal 1319 BW yang menyatakan :
“Semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.”
Oleh karena itu, jika informed consent dalam suatu perjanjian terapeutik dikaitkan dengan Burgerlijk Wetboek, khususnya dalam ketentuan Pasal 1320 BW terkait syarat sah suatu perjanjian, maka :
-
Unsur sepakat, merujuk pada adanya suatu kesepakatan / persetujuan yang menimbulkan hubungan timbal balik antara dokter dengan pasiennya sebagaimana tertuang dalam informed consent suatu perjanjian terapeutik;
-
Unsur cakap, merujuk pada kecakapan pasien dan dokter. Kecakapan seorang pasien dibuktikan dengan persetujuan yang telah diberikan, sedangkan kecakapan seorang dokter dibuktikan dengan adanya sertifikat atau surat relevan yang dimiliki untuk melakukan tindakan medis terhadap pasiennya;
-
Unsur objek / pokok persoalan tertentu, merujuk pada hak dan kewajiban yang dimiliki dan harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, lebih-lebih merujuk pada “inspaning verbintenis” dalam perjanjian terapeutik;
-
Unsur sebab yang halal, merujuk bahwa pemberian informed consent yang tercantum dalam perjanjian terapeutik tidak diberikan atas hal-hal yang melanggar hukum.
​
​
Vanessa Handayani, S.H.
Paralegal Potu And Partners
KEDUDUKAN HUKUM SURAT KETERANGAN TANAH SEBAGAI BUKTI KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH
Menjadikan Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat di pedesaan. Mengingat proses pendaftaran yang tidak memerlukan biaya yang besar dan proses yang lama. Sehingga masyarakat lebih memilih Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan tanahnya.
Surat Keterangan Tanah (SKT) dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah setempat. Hal tersebut di dasari oleh PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 39. PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan PPAT, Pasal 5 ayat (3) Huruf a menyebutkan bahwa :
“Kepala Desa sebagai aparat desa paling bawah memiliki tugas-tugas yang sangat strategis di dalam membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Surat Kepemilikan Tanah sebetulnya menegaskan riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Dasar hukum dari Surat Keterangan Tanah adalah Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak ada maka pemohon tersebut harus disertai dengan surat pernyataan dari pemohon.”
Mengingat bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) ini berbeda dengan Sertifikat Hak Milik selanjutnya disebut dengan sebutan SHM. Dimana Sertifikat Hak Milik ini adalah alat bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Adapun dasar hukum dari Sertifikat Hak Milik tersebut adalah Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :
“Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah ……”.
Berdasarkan keterangan Pasal 20 ayat (1) UUPA, bahwa dapat kita ketahui hak milik merupakan hak yang paling tinggi atau diatas dari hak-hak lain, seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak pakai dan hak lainnya.
Surat Keterangan tanah ini, di dalam aturannya hanyalah sebuah alas hak bagi seseorang untuk pengajuan pendaftaran tanah agar mendapatkan sertifikat tanah. berbanding terbalik dengan keyataannya, bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) merupakan bukti kepemilikan tanah yang sah dan memiliki kekuatan hukum.
Adapun dasar hukum dari SKT adalah Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa :
“dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya dengan syarat :
-
Penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikat baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta di perkuat oleh kesaksian orang yang dipercaya;
-
Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat Hukum Adat atau Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lain.
Berdasarkan dari penjelasan Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa SKT merupakan bukti fisik atas sebidang tanah yang digunakan untuk proses pendaftaran tanah. SKT sendiri merupakan bukti penting dalam proses pembuktian sebidang tanah untuk penerbitan sertifikat tanah. Dimana dalam hal alat-alat bukti tidak lengkap atau tidak ada, maka SKT sebagai surat keterangan yang menerangkan tentang kondisi fisik sebidang tanah dapat digunakan.
Mengingat bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) ini berbeda dengan Sertifikat Hak Milik selanjutnya disebut dengan sebutan SHM. Dimana Sertifikat Hak Milik ini adalah alat bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Adapun dasar hukum dari Sertifikat Hak Milik tersebut adalah Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi :
“Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah...”
Dari keterangan pasal 20 ayat (1) UUPA bahwa dapat kita ketahui hak milik merupakan hak yang paling tinggi atau diatas dari hak-hak lain, seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), hak pakai dan hak lainnya.
Dalam pembuktiannya, bagaimana seseorang yang belum memiliki sertifikat dapat membuktikan bahwa tanah yang dikuasai oleh seseorang berdasarkan sertifikat hak atas tanah tersebut adalah miliknya. Berdasarkan Pasal 32 PP No.24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah menjelaskan bahwa sertifikat akan memiliki kekuatan hukum yang kuat apabila data fisik dan data yuridis telah sesuai dengan data dari surat ukur tanah dan buku tanah hak yang bersangkutan. Dengan kata lain, di dalam sertifikat tanah tersebut mengandung data fisik dan data yuridis, untuk membuktikan bahwa sertifikat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan penerbitannya merupakan perbuatan melawan hukum. Maka, dapat di buktikan dengan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Setelah lahirnya UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, selanjutnya dalam rangka mempercepat pendaftaran tanah lahirlah Surat Edaran Menteri Nomor 1756/15.I/IV/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat, dimana salah satu isi dari surat edaran tersebut adalah menghapuskan SKT sebagai salah satu syarat pendaftaran tanah dalam rangka penerbitan sertifikat tanah. SKT yang pada dasarnya adalah alas hak dalam proses pendaftaran tanah, sekarang tidak lagi memiliki kedudukan sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah tersebut.
Dengan begitu, setelah dikeluarkannya Surat Edaran Menteri ATR/BPN Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat ini kedudukan SKT yang awalnya merupakan alas hak dalam proses pendaftaran tanah menjadi tidak ada lagi. Hilangnya kedudukan SKT sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah, tidak semerta-merta mempengaruhi kedudukan SKT sebagai hak dasar atas sebidang tanah. SKT tetap memiliki kedudukan sebagai hak dasar atas sebidang tanah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah.
Kedudukan SKT sebagai hak dasar yang merupakan sekaligus alat bukti kepemilikan yang sah dapat kita buktikan dengan adanya putusan Mahkamah Agung No. 2595 K/Pdt/2018 yang menyatakan bahwa:
“Menyatakan sah menurut hukum Penggugat adalah pemilik atas sebidang tanah yang terletak di Jalan Pengeran Muhammad Noor, RT 46, RW. 10 Kelurahan Kuin Cerucuk, Kecamatan Banjarmasin Barat, Kota Banjarmasin, dengan ukuran dan batas batas sebagaimana Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (sporadik) Tanggal 30 Desember 2010. Sebelah Utara berbatasan dengan Ruliansyah dengan ukuran 70 meter, sebelah timur berbatasan dengan Lukman Hartanto, Ir.SP dengan ukuran 67,35 meter, sebelah selatan berbatasan dengan Ma’Surai (Almarhum)/Satriansyah bin Djakaria dengan ukuran 70 meter, dan sebelah barat berbatasan dengan Jalan Ir. P.HM. Noor dengan ukuran 67,35 meter.”
Berdasarkan dari penjelasan diatas, dari sebelum lahirnya UUPA, sampai lahir UUPA, PP No.24 Tahun 1997 dan Surat Edaran Menri ATR/BPN Nomor 1756/15.I/IV/2016mengenai hukum pertanahan Indonesia, SKT adalah salah satu surat penting yang dapat membuktikan hak atas sebidang tanah oleh masyrakat di daerah pada umumnya. Penghapusan SKT dari salah satu syarat pendaftran tanah,bukanlah hal yang dapat mempengaruhi kedudukannya sebagai hak dasar atas sebidang tanah yang diakui oleh masyrakat maupun instansi.
Sebagai hak dasar atas sebidang tanah SKT juga merupakan alat bukti hak atas tanah yang diakui di dalam persidangan-persidangan sengketa tanah ataupun sengketa administrasi pertanahan di Indonesia. Hal tersebut kembali memperkuat kedudukan dan kekuatan SKT sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah dan berkekuatan hukum.
Gesang Taufikurochman, S.H.
Paralegal Potu and Partners
Putusan Sela
Putusan Sela merupakan keputusan yang dikeluarkan sebelum hakim memberikan putusan akhir. Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai putusan sela yang berisi pernyataan hakim tentang salah satu dari tiga kemungkinan: Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili, Dakwaan tidak dapat diterima, Dakwaan batal demi hukum. Putusan Sela yang berisi salah satu dari tiga kemungkinan tersebut diberi batasan sebagai syarat yang membatasi Hakim untuk dapat menjatuhkan putusan sela apabila ada keberatan dari Terdakwa dan Penasihat Hukum tentang ketiga hal tersebut. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 185 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Pasal 196 Recht Reglement voor de Buitengewesten (RBg) mendefinisikan putusan sela adalah putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan, tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya tertulis dalam berita acara persidangan saja dan kedua belah pihak dapat meminta salinan otentik dari putusan sela dengan biaya sendiri.
Fungsi Putusan Sela
Putusan ini bertujuan untuk memudahkan kelanjutan pemeriksaan perkara yang merupakan jenis putusan pengadilan yang bersifat formil atau bukan putusan akhir yang berkaitan dengan surat dakwaan. Putusan sela tidak bersifat final dan berlaku sampai adanya putusan lain yang lebih mengikat.
​
Putusan sela memiliki beberapa fungsi, antara lain :
-
Memberikan perlindungan sementara kepada pihak yang berpotensi mengalami kerugian;
-
Memberikan petunjuk awal untuk memastikan semua pihak memahami apa yang mungkin mempengaruhi putusan akhir;
-
Menetapkan aturan sementara untuk mengatur jalannya persidangan;
-
Mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara;
-
Menegakkan wibawa Pengadilan.
Dalam praktiknya, putusan sela dapat diklasifikasikan atas empat jenis putusan, yakni putusan preparatoir, putusan interlocutoir, putusan insidentil, dan putusan provisionil.
-
Putusan sela preparatoir adalah putusan yang dijatuhkan hakim guna mempersiapkan atau mengatur jalannya pemeriksaan perkara.
-
Putusan sela interlocutoir adalah bentuk khusus putusan sela yang dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai hakim.
-
Putusan sela insidentil adalah putusan sela yang berkaitan dengan adanya insiden atau kejadian yang menunda jalannya proses pemeriksaan perkara.
-
Putusan provisionil, yaitu putusan yang bersifat sementara yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan.
​
Gesang Taufikurochman, S.H.
Paralegal Potu and Partners
Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Dalam Perspektif Hukum Perdata
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering bersinggungan dengan suatu perjanjian, baik itu berbentuk perjanjian lisan maupun tulisan. Suatu perjanjian bisa tercipta karena adanya kepentingan atau kebutuhan dari satu pihak terhadap pihak lainnya, baik antar individu maupun antar perkumpulan. Perjanjian dibuat dengan mengadakan suatu negosiasi diantara dua pihak atau lebih untuk saling mendapatkan keuntungan demi terpenuhinya kebutuhan para pihak.
​
Prof. Purwahid Patrik, S.H. menjelaskan definisi mengenai perikatan yaitu :
“Suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara 2 orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain berkewajiban atas sesuatu”
Selanjutnya pengertian suatu perjanjian dijelaskan juga dalam Pasal 1313 Burgerlijk Weboek yang menyebutkan:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”
Suatu perjanjian dapat dianggap sah jika memenuhi syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Weboek yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Jika suatu perjanjian telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Weboek , maka perjanjian tersebut sudah bisa dianggap sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya.
Syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Weboek tersebut dibedakan menjadi 2, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak. Sedangkan syarat objektif suatu perjanjian yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
Tidak terpenuhinya syarat subjektif maupun syarat objektif suatu perjanjian bisa menimbulkan suatu konsekuensi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Kemudian apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Suatu perjanjian tidak hanya dibuat berbentuk tulisan, namun perjanjian juga bisa dibuat berbentuk lisan.
​
Perjanjian lisan seringkali dibuat dalam kehidupan sehari-hari, seperti perjanjian antar pembeli dengan pedagang atau antar individu. Perjanjian lisan lazim digunakan sebagai sarana perikatan yang mudah dibuat dan mengikat antar pihak yang bersepakat. Perjanjian lisan tetap sah jika memenuhi syarat subjektif dan objektif perjanjian, namun akan menjadi masalah jika ada sengketa yang timbul terkait dengan perjanjian lisan karena para pihak akan kesulitan dalam melakukan pembuktian. Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata yang menyebutkan alat bukti terdiri dari bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Pembuktian perjanjian lisan bisa dilakukan dengan pembuktian saksi, namun perlu diperhatikan bahwa saksi tersebut haruslah tidak memiliki hubungan keluarga dengan para pihak dan saksi cakap bertindak menurut hukum.
​
Moch. Febriansyah, S.H.
Paralegal Potu and Partners
PRINSIP POLLUTER PAY DALAM PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT OLEH KORPORASI
Prinsip Polluter Pay atau "Pencemar Membayar" merupakan konsep fundamental dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya lingkungan laut. Prinsip ini mengharuskan pihak yang mencemari lingkungan, termasuk individu, kelompok, atau korporasi, untuk bertanggung jawab atas dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, termasuk dengan mengganti biaya kerusakan.
​
Prinsip Polluter Pay pertama kali diperkenalkan dalam ranah internasional oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1972. Prinsip ini menekankan bahwa tanggung jawab finansial atas dampak pencemaran harus ditanggung oleh pelaku pencemaran, baik melalui tindakan pencegahan maupun pengendalian, sebagaimana diatur oleh otoritas berwenang. Dengan demikian, prinsip ini memastikan bahwa beban biaya pengelolaan lingkungan tidak dibebankan kepada masyarakat secara umum. Namun, Prinsip ini bukanlah bentuk kompensasi langsung atas semua kerusakan yang diakibatkan oleh pencemaran. Sebaliknya, prinsip ini berfokus pada pengaturan agar pelaku pencemaran menanggung biaya untuk mencegah, memitigasi, atau memulihkan dampak pencemaran. Jika suatu negara mewajibkan pelaku pencemaran untuk membayar biaya tambahan di luar pengendalian yang telah ditentukan, langkah tersebut tetap sesuai dengan prinsip ini, meskipun tidak diwajibkan secara eksplisit dalam kerangka prinsip Polluter Pay.
Article 235 UNCLOS menyebutkan bahwa:
-
States are responsible for the fulfilment of their international obligations concerning the protection and preservation of the marine environment. They shall be liable in accordance with international law.
-
States shall ensure that recourse is available in accordance with their legal systems for prompt and adequate compensation or other relief in respect of damage caused by pollution of the marine environment by natural or juridical persons under their jurisdiction.
-
With the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the implementation of existing international law and the further development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damage and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development of criteria and procedures for payment of adequate compensation, such as compulsory insurance or compensation funds.
Yang artinya UNCLOS mengatur bahwa Negara harus bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban internasional mereka terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dan Negara harus memastikan bahwa jalan keluar tersedia sesuai dengan sistem hukum mereka untuk kompensasi yang cepat dan memadai atau ganti rugi lainnya sehubungan dengan kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut oleh orang perseorangan atau badan hukum di bawah yurisdiksi mereka. Dan bahwa dengan tujuan untuk memastikan kompensasi yang cepat dan memadai sehubungan dengan semua kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut tersebut, Negara harus bekerja sama dalam penerapan hukum internasional yang ada dan pengembangan lebih lanjut hukum internasional yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk penilaian dan kompensasi atas kerusakan dan penyelesaian sengketa terkait, serta, jika sesuai, pengembangan kriteria dan prosedur untuk pembayaran kompensasi yang memadai, seperti asuransi wajib atau dana kompensasi.
Sehingga Negara Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Hukum Laut tersebut, Indonesia menerapkan prinsip Polluter Pay tertuang dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa:
"Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup."
​
Pasal 53 ayat (2) UUPPLH lebih lanjut menjelaskan bahwa:
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan meliputi:
a. Pemberian informasi peringatan kepada masyarakat;
b. Isolasi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup;
c. Penghentian sumber pencemaran atau kerusakan; dan/atau
d. Tindakan lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
​
Pasal 87 ayat (1) UUPPLH juga menyebutkan bahwa:
"Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu."
​
Secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan menyebutkan dalam pasal 52 ayat (3) menyebutkan bahwa :
"Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian."
​
Sehingga Prinsip Polluter Pay menjadi salah satu pilar penting dalam upaya perlindungan lingkungan, khususnya dalam konteks pengelolaan lingkungan laut. Dengan menempatkan tanggung jawab kepada pihak pencemar untuk menanggung biaya atas kerusakan yang ditimbulkan, prinsip ini tidak hanya mendorong akuntabilitas, tetapi juga memotivasi langkah-langkah preventif dan inovasi teknologi untuk mengurangi pencemaran. Dengan penerapan yang konsisten dan penegakan hukum yang tegas, prinsip ini diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta mewujudkan keadilan ekologis bagi generasi saat ini dan mendatang.
​
​
Adrian Cakhalino, S.H.
Paralegal Potu and Partners
PRINSIP BUSINESS JUDGEMENT RULE DALAM KORPORASI
​Prinsip Business Judgement Rule adalah suatu prinsip dimana Direksi Perseroan dalam hal ini tidak dapat dibebankan untuk melakukan tanggungjawab seara hukum atas keputusan yang telah diambilnya dengan pertimbangan yang telah dilakukan meskipun telah menimbulkan suatu kerugian bagi perusahaan. Penerapan Business Judgement Rule dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dijelaskan di dalam Pasal 97 Ayat (5) yang menyatakan bahwa: “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”. Bahwa pada hakikatnya pengaturan mengenai business judgement rule antara Malaysia dan Indonesia adalah sama yang menerapkan dan menekankan pada prinsip kehati-hatian yang wajib dilakukan oleh Direksi Perseroan.
Dalam penerapannya, business judgement rule menekankan bahwa keputusan bisnis yang dibuat oleh pengurus perusahaan tidak akan diintervensi oleh hukum atau dipermasalahkan, selama mereka mengambil keputusan tersebut dengan berlandaskan pada itikad baik dan kehati-hatian. Dalam hal ini, itikad baik berarti bahwa para pengambil keputusan harus bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan, bukan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu yang mungkin menyebabkan konflik kepentingan. Di samping itu, mereka juga harus menggunakan pertimbangan yang rasional, informasi yang memadai, dan berpijak pada analisis yang relevan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, apabila direksi atau pengurus bertindak sesuai dengan ketentuan ini, maka mereka akan terlindungi dari tuntutan hukum, sekalipun keputusan tersebut pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Prinsip ini pada dasarnya membantu korporasi dalam mengelola bisnis dengan lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan pasar yang dinamis. Perusahaan yang bergerak di sektor-sektor yang kompetitif atau yang memerlukan inovasi tinggi, misalnya, akan sering menghadapi kebutuhan untuk melakukan eksperimen bisnis atau mengadopsi strategi yang berisiko. Tanpa adanya business judgement rule, para pengurus mungkin lebih memilih untuk tidak mengambil langkah yang berpotensi menghasilkan keuntungan besar karena takut akan tuntutan hukum jika rencana tersebut tidak berhasil. Oleh sebab itu, BJR berperan penting dalam mendorong para pemimpin perusahaan untuk mengambil keputusan yang inovatif dan berani dalam memajukan bisnis. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa business judgement rule bukanlah perlindungan tanpa batas. Apabila terbukti bahwa keputusan diambil dengan cara yang ceroboh, tanpa adanya data atau informasi yang cukup, atau terdapat indikasi bahwa keputusan tersebut didasari oleh konflik kepentingan, maka perlindungan BJR tidak akan berlaku. Prinsip ini juga tidak akan melindungi keputusan yang melanggar hukum atau tidak sesuai dengan anggaran dasar perusahaan. Dengan kata lain, business judgement rule hanya melindungi para pengurus yang telah menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan standar yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan, business judgement rule menjadi salah satu pilar penting dalam tata kelola perusahaan yang baik, karena memberikan keseimbangan antara kebebasan dalam pengambilan keputusan dan perlindungan hukum bagi pengurus perusahaan. Prinsip ini membantu perusahaan dalam menghadapi risiko bisnis dengan lebih tenang, serta mendorong para pengambil keputusan untuk terus melakukan inovasi tanpa rasa takut akan tuntutan hukum selama mereka bertindak dengan itikad baik dan dalam kerangka yang rasional. Dengan adanya prinsip business judgement rule, perusahaan dapat dikelola dengan lebih efektif dan efisien, serta memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk beradaptasi dengan dinamika pasar yang terus
Sumber:
Prasetio, Dilema BUMN Benturan Penerapan Business Judgement Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN, (Jakarta: Rayyana Komunikasindo, 2014)
Shigeko Desiputri Hadi, Prinsip Business Judgement Rule Dalam Pertanggungjawaban Hukum Direksi Bumn Yang Melakukan Tindakan Investasi Yang Mengakibatkan Kerugian, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad, Vol. 4, No. 2, 2021.
​
Nabila Purnamasasi, S.H.
Paralegal Potu and Partners
PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DALAM PERSEROAN
Good Corporate Governance (GCG) atau Tata Kelola yang Baik, mulai berkembang di awal abad ke-20 di Amerika Serikat untuk merespons berbagai skandal perusahaan yang mengurangi kepercayaan publik terhadap korporasi besar. Krisis keuangan yang melanda kawasan Asia di sekitar tahun 1997-1998, dimana Indonesia termasuk di dalamnya telah dirasakan amat memberatkan kehidupan bagi semua kalangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Baird bahwa salah satu akar penyebab timbulnya krisis ekonomi di Indonesia dan juga di berbagai negara Asia lainnya adalah buruknya pelaksanaan GCG di hampir semua perusahaan yang ada, baik perusahaan yang dimiliki pemerintahan maupun dimiliki pihak swasta. Perhatian ini dipicu oleh skandal besar yang melibatkan Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peek, Maxwell, dan lain-lain. Kehancuran perusahaan-perusahaan tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktek curang dari manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen oleh Corporate Boards. Pada tahun 1990-an kesadaran untuk menerapkan GCG meningkat di seluruh dunia termasuk di Indonesia, seiring dengan munculnya skandal besar dan krisis keuangan global yang memperlihatkan pentingnya tata kelola yang baik bagi keberlanjutan perusahaan. Faktor lain yang menyebabkan buruknya kinerja perusahaan adalah pelanggaran terhadap etika bisnis. Adanya budaya sogok-menyogok, suap-menyuap, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang marak di Indonesia. Sehingga akibat krisis ekonomi yang melanda, membawa efek meningkatnya perhatian dari pemerintah dan kalangan pebisnis, serta masyarakat luas pada umumnya terhadap pentingnya penerapan GCG.
GCG merupakan prinsip sistem dan struktur yang mengatur hubungan antara pemangku kepentingan perusahaan untuk memastikan pengelolaan yang transparan, adil, dan bertanggung jawab. Pedoman umum Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) terdapat 5 (Lima) Prinsip yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran. Penjelasan prinsip tersebut ialah :
-
Transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi materiil dan relevan mengenai Perusahaan. Pengungkapan informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh Stakeholders sesuai dengan haknya;
-
Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Akuntabilitas merujuk kepada kewajiban seseorang atau satuan kerja perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan wewenang yang dimilikinya dan/atau pelaksanaan tanggungjawab yang dibebankan oleh perusahaan kepadanya. Oleh karenanya, Perusahaan menerapkan tanggungjawab yang jelas dari masing-masing organ perusahaan yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi perusahaan;
-
Pertanggungjawaban yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Prinsip pertanggungjawaban mencerminkan adanya kesesuaian dan kepatuhan pengelolaan Perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
-
Kemandirian yaitu keadaan dimana Perusahaan dikelola secara profesional tanpa Benturan Kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Oleh karena itu, Perusahaan dalam mengambil keputusan berTindak obyektif dan bebas dari segala tekanan, menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari Benturan Kepentingan (Conflict of Interest).
-
Kewajaran Kewajaran yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip kewajaran mengharuskan adanya perlakuan adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak Pemegang Saham dan Stakeholders. Perusahaan akan selalu memastikan agar pihak yang berkepentingan dapat mengeksekusi hak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan juga akan selalu memastikan agar Perusahaan dapat mengeksekusi haknya terhadap pihak yang berkepentingan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
GCG bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dengan menjaga keseimbangan antara kepentingan manajemen, pemegang saham, dan pihak lain yang terlibat. Tujuan untuk dapat mewujudkan perusahaan yang dipercaya pemangku kepentingan, berkinerja unggul, serta tumbuh secara berkelanjutan. Dengan berpegang pada komitmen tersebut, perusahaan senantiasa mengikuti perkembangan praktik tata kelola terbaik yang berlaku, baik ranah nasional, regional, maupun internasional dan sesuai dengan kebutuhannya. GCG dapat menciptakan nilai tambah untuk seluruh pemangku kepentingan, termasuk kepada pemegang saham, karena GCG dipercaya mampu untuk memberikan pondasi atas pengelolaan entitas usaha yang akuntabel. Tujuan berkomitmen menerapkan prinsip-prinsip GCG secara konsisten dengan merujuk terhadap tujuan penerapan GCG menurut peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara melalui PER-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 dan perubahannya No. PER-09/MBU/2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada BUMN, yang terutama adalah :
-
Mengoptimalkan nilai perusahaan dengan cara menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, responsibilitas, kemandirian, dan kewajaran agar perusahaan memiliki daya saing kuat.
-
Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan, dan efisien serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Perusahaan.
-
Mendorong agar perusahaan dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan senantiasa dengan nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial Perusahaan terhadap pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar area operasi Perusahaan.
-
Menciptakan citra perusahaan yang baik.
Dalam Komitmen Perusahaan terhadap penerapan GCG, perusahaan harus berupaya untuk terus meningkatkan kualitas penerapan GCG dengan mengadopsi penerapan GCG, baik yang berlaku di Internasional maupun di Indonesia. Beberapa kriteria penerapan GCG yang menjadi panduan perusahaan antara lain :
-
Peraturan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PER-2/MBU/03/2023;
-
Surat Keputusan Menteri No. Kep-117/M-MBU/2002.
-
Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 dan perubahannya No. 8/14/PBI/2006
-
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 21/ POJK.04/2014 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Terbuka dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 32/SEOJK.04/2015 tentang Pedoman Tata Kelola Perusahaan;
-
Peraturan OJK Nomor 73/POJK.05/2016 yang mengatur tentang tata kelola di sektor keuangan guna memastikan kepatuhan dan pengelolaan yang baik.
-
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance, Tahun 2006;
-
Pedoman Komisaris Independen, dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance, Tahun 2004;
-
Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance, Tahun 2004;
-
ASEAN Corporate Governance Scorecard.
Akibat Hukum apabila Korporasi tidak menerapkan GCG antara lain:
-
Peningkatan Risiko Hukum dan Pelanggaran Regulasi
Perusahaan yang tidak menerapkan Good Corporate Governance (GCG) berisiko tinggi mengalami pelanggaran hukum, yang dapat berakibat pada sanksi administratif, denda, atau bahkan tuntutan pidana bagi para pengelolanya. -
Rentan Terhadap Praktis Korupsi
Lemahnya penerapan GCG membuka peluang terjadinya korupsi, terutama dalam perusahaan BUMN dan swasta. Hal ini juga dapat menimbulkan kerugian pada pemegang saham dan merusak reputasi perusahaan BUMN dan Swasta. Hal ini juga dapat menimbulkan kerugian pada pemegang saham dan merusak reputasi perusahaan. -
Menurunnya Kepercayaan Pemangku Kepentingan
Ketidakpatuhan pada prinsip GCG dapat membuat investor, karyawan, dan pelanggan kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kelangsungan bisnis. -
Instabilitas Ekonomi dan Pajak
Buruknya tata kelola dapat menyebabkan ketidakefisienan, yang berujung pada rendahnya pembayaran pajak oleh perusahaan. Ini berpotensi meningkatkan beban negara dalam mengelola keuangan.
Efektivitas GCG tidak terlepas dari rerangka legal dan ekonomi (legal and economic framework) suatu negara. Sebagai suatu governance system dipengaruhi oleh legal dan ekonomi tersebut. Tantangan terbesar dan unik bagi perusahaan-perusahaan publik dalam penerapan GCG ialah tantangan untuk mengubah kultur perusahaan yang umurnya sudah mengakar melalui kepemimpinan yang lugas, kompeten dan memiliki integritas tinggi. Terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan GCG di Indonesia. Kendala-kendala dimaksud antara lain kendala di bidang hukum, budaya, politik, dan lingkungan bisnis. Oleh sebab itu diperlukan upaya kolektif dari berbagai pelaku pasar/bisnis termasuk regulator, akuntan, dewan komisaris, dan lain-lain untuk mensosialisasikan manfaat, kegunaan, dan pentingnya GCG sehingga timbul kesadaran akan pentingnya praktik GCG bagi peningkatan kinerja dan kesinambungan perusahaan. Penerapan GCG bisa dilihat sebagai tantangan sekaligus bisa dilihat sebagai kesempatan, dimana pada saat ini GCG bukan saja dirasakan sebagai pressure di Indonesia tetapi juga di semua belahan dunia, maka bila perusahaan di Indonesia dapat lebih cepat dan tepat bertindak dari pesaing-pesaing mereka (terlepas masih banyaknya kekurangan-kekurangan secara makro) maka mereka dapat mempertahankan keberadaan dan meningkatkan kinerja serta menjaga sustainability usaha yang berkualitas di Indonesia. Adanya pendapat yang menyatakan bahwa hasil yang diperoleh dari implementasi GCG masih belum sesuai dan merupakan suatu indikasi bahwa model GCG yang kita adopsi perlu diadakan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi lokal dan karakteristik perusahaan perusahaan di Indonesia
​
​​
Muhammad Azri Arrizki, S.H.
Paralegal Potu And Partners Law Office
PENERAPAN DIVERSI DALAM PERADILAN ANAK DI INDONESIA
Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi Bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan Bangsa Indonesia. Namun, kenakalan anak sudah tidak bisa dipandang lagi sebagai kenakalan biasa. Anak-anak banyak melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana, seperti halnya melakukan pencurian, membawa senjata tajam, terlibat perkelahian, penyalahgunaan narkotika, dan sebagainya. Akan tetapi anak yang melakukan pelanggaran hukum tersebut sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri dari anak tersebut.
Oleh karena itu, berbagai upaya preventif dan langkah-langkah mitigasi untuk mencegah dan menanggulangi kenakalan anak, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut dengan UU SPPA, Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pelaksanaan Diversi dilatarbelakangi atas adanya keinginan untuk menghindari efek negatif sistem Peradilan Pidana terhadap jiwa dan perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses yang dilakukan wajib memperhatikan :
​
-
Kepentingan korban;
-
Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
-
Penghindaran stigma negatif;
-
Menghindari pembalasan;
-
Keharmonisan masyarakat; dan
-
Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
​
Prinsip utama pelaksanaan Diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun tetapi berumur 18 (delapan belas) Tahun atau telah berumur 12 (dua belas) Tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun. Hal ini dengan tegas diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU SPPA yang menyatakan bahwa:
Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :
a) Diancam dengan pidana pernjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
b) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Penerapan Diversi berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan Pada. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menentukan bahwa tujuan Diversi adalah :
a) Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah Diversi adalah musyawarah yang dilakukan antara pihak yang terlibat dan orang tua/wali, korban dan/atau wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan melalui pendekatan keadilan restoratif. Menurut UU SPPA menyebutkan bahwa proses Diversi pada saat tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan Persidangan anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya Diversi maka dalam pasal Undang-Undang SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan Diversi sesuai dengan peraturan yang berlaku dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang terbukti dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan Diversi dimana diatur dalam Pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00- (dua ratus juta rupiah).
Kemudian pada saat dilakukannya Diversi yang dilakukan oleh Penyidik, jangka waktu Penyidik mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dilakukan. Setelah itu apabila proses Diversi telah dilakukan maka Diversi tersebut dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah Diversi dimulai dengan menghadirkan anak pelaku, anak korban, keluarga pelaku, keluarga korban, dan pihak pihak lain yang terkait.
Hasil Kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain :
1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
3. Keikutsertaan dalam penyidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4. Pelayanan Masyarakat.
Dalam kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 13 huruf (b) UU SPPA.
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peradilan anak di Indonesia ialah merupakan peradilan khusus dari bagian sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. Oleh karena bersifat khusus maka peradilan anak dipisahkan dengan peradilan bagi orang dewasa. Salah satu yang membuat sifatnya khusus adalah penerapan Diversi. Ini dipertegas dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Karena anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak-hak setiap anak mempunyai wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta. Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itu pun harus mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (Ultimum Remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak. Diluar itu kasus-kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan Diversi sebagaimana Diversi yang difasilitasi oleh penegak hukum pada setiap tingkat untuk mencapai keadilan restoratif yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu seperti berupa tindakan lainnya yang dilakukan dengan pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak-hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.
Gesang Taufikurochman, S.H.
Paralegal Potu And Partners Law Office
PENDAFTARAN MEREK SEBAGAI UPAYA MENJAMIN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK EKSKLUSIF ATAS MEREK DI INDONESIA
Merek merupakan salah satu instrument dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang berharga secara komersial dan memiliki peranan penting bagi kegiatan ekonomi. Dalam industri perdagangan, merek memiliki nilai yang sangat penting dalam rangka efisiensi dan kemudahan bagi penjual dan pembeli dalam kegiatan penawaran dan jual beli barang atau jasa. Dari sisi Pengusaha, digunakan sebagai identitas, branding, perlindungan hukum hingga jaminan atas nilai dari produk atau jasa aquo, bahkan bagi beberapa perusahaan merek lebih bernilai dibadning aset riilnya. Sementara itu bagi konsumen dengan adanya merek ini dapat membantu mereka dalam mengenali mutu dan kualitas suatu produk, memudahkan dalam memilih dan membedakan dengan produk lain, bahkan hingga dapat dikaitkan dengan status dan prestise tertentu bagi konsumen. Berangkat dari hal tersebut, sudah seyogyanya merek sebagai hak eksklusif merupakan suatu hal wajib dilindungi sebagai langkah preventif agar terhindar dari suatu sengketa hukum (Dispute Yuridis). Di dunia internasional aturan yang mengatur perlindungan merek secara international dituangkan dalam Paris Convention for Protection of Industrial Property yang kemudian di Indonesia telah di Ratifikasi melalui diresmikan di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 yang kemudian melahirkan aturan-aturan turunannya seperti Undang-Undang Nomor 06 tahun 1982 diubah yang saat ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor o6 tahun 1989 yang saat ini berlaku Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten, hingga Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek yang saat ini berlaku Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
​
Sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang dalam hal ini telah diratifikasi oleh Indonesia, pemberian kepastian perlindungan terhadap HAKI utamanya merek perlu diratifikasi, hal ini dalam upaya menjaga keberlangsungan roda ekonomi dan persaingan usaha yang sehat. Tidak dapat dipungkiri di Indonesia sendiri telah banyak terjadi sengketa-sengketa merek dari masa ke masa, contohnya sebut saja kasus antara Gudang Garam Vs Gudang Baru yang terjadi Pada 22 Maret 2021, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) sebelumnya juga pernah melayangkan pada 29 Mei 2013 lalu sengketa masalah merek di Pengadilan Negeri Surabaya. Kala itu, Gudang Garam dinyatakan menang baik secara pidana maupun secara perdata oleh Mahkamah Agung. Selain itu, juga ada kasus antara MS Glow dan PS Glow yang mana pada 13 Agustus 2021 MS Glow melaporkan PS Glow kepihak Kepolisian atas dugaan kejahatan merek dan rahasia dagang dan pengajuan pembatalan merek PS Glow ke Pengadilan Negeri Medan dengan alasan merek PS Glow menyerupai merek miliknya. Hal ini kemudian direspon pihak oleh PS Glow dengan mengajukan gugatan balik MS Glow ke Pengadilan Negeri Surabaya dan mengklaim bahwa PS Glow dan merek dagang MS Glow berada di merek kelas yang berbeda. Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan bahwa PT Pstore Glow Bersinar Indonesia mengantongi hak eksklusif atas merek dagang PS Glow dan merek dagang tersebut telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham. Selain itu, Sengketa Merek juga terjadi di dunia internasional, contohnya adalah sengketa Zara Fashion dan Zara Food, yang mana dalam hal ini terjadi sengketa antara industri makanan dengan perusahaan fashion. Kedua belah pihak memakai sebuah nama merek yang sama, Zara. Gugatan dilayangkan oleh merek Zara Fashion setelah menemukan sebuah restoran di Delhi dengan nama yang sama. Pada akhirnya, pengdilan di Delhi memenangkan Zara fashion sehingga restoran tersebut terpaksa mengubah namanya dan sekarang beroperasi dengan nama Tapas Bar.
​​
Sistem Pendaftaran Merek
Merek dalam dunia ekonomi merupakan suatu “Goodwill” yakni nilai tambah yang dimiliki suatu perusahaan, yang tidak dapat diukur secara langsung dengan aset fisik atau kekayaan perusahaan. Goodwill atas merek adalah “sesuatu yang tidak ternilai dalam memperluas pasaran". Merek secara nyata melindungi kepentingan pedagang terhadap passing off serta memberikan informasi kepada konsumen sekaligus perlindungan. Merek sangat bernilai untuk meraih dominasi pasar suatu produk dari produk sejenis, dengan demikian “pendaftaran merek melindungi barang tersebut dari penggunaan merek yang sama atau serupa dengan merek yang didaftarkan.” Dalam upaya melindungi hak eksklusif terhadap pemegang hak atas merek, dunia internasional telah menuangkannya pada suatu perjanjian internasional yakni Protokol Madrid (Madrid Agreement) yang mengatur terkait dengan pendaftaran merek. Diadopsinya ketentuan pendaftaran merek internasional didahului dengan aksesi perjanjian internasional The Protocol Relating to Madrid Agreement Concerning the Internasional Registration of Marks atau Protokol Madrid pada tanggal 2 Oktober 2017, dan berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2018 sebagaimana aksesi tersebut disahkan melalui Peraturan Presiden No. 92 Tahun 2017 dan Indonesia menjadi anggota ke-100 the Madrid Union. Terdapat 2 sistem pendaftaran merek yang dikenal secara umum, yaitu sistem konstitutif (First to File) dan sistem deklaratif (First to Use). Pada sistem First to File, hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran. Dengan kata lain, pada sistem konstitutif pendaftaran merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan, karena tanpa adanya pendaftaran maka tidak akan memberikan pemegang merek suatu perlindungan hukum. Sistem konstitutif (First To File) dinilai lebih memberikan kepastian hukum karena seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa dalam sistem ini pihak yang mendaftarkan suatu merek adalah pihak satu-satunya yang memiliki hak atas merek tersebut. Namun di sisi lain sistem pendaftaran First To File ini juga memiliki kelemahan. Kelemahan utama dari sistem ini adalah terbukanya peluang untuk dilakukannya pendomplengan atau pembajakan merek dagang asing terutama untuk merek dagang yang masuk dalam kategori merek terkenal. Tidak menutup kemungkinan adanya pendaftar dengan iktikad buruk mendaftarkan merek dagang asing sebagai merek miliknya sendiri. Pada sistem konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas pendaftara pertama yang beritikad baik. Sementara itu, system pendaftaran deklaratif (First to Use) menitik beratkan pada siapa yang memakai atau menggunakan pertama. Siapa yang memakai pertama suatu merek dialah yang dianggap berhak menurut hukum atas merek bersangkutan. Prinsip utama dalam sistem deklaratif ini adalah bahwa pihak paling pertama yang menggunakan suatu merek, pihak tersebutlah yang menurut hukum paling berhak atas merek bersangkutan. Dalam sistem deklaratif, pendaftaran bukan merupakan suatu keharusan, sehinga tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan merek. Pendaftaran dalam sistem deklaratif lebih berfungsi untuk memudahkan permbuktian, artinya dengan adanya surat memperoleh surat pendaftaran maka akan mudah unuk membuktikan apabia ada pihak lain yang mengaku sebagai pemilik merek yang bersangkutan Pada sistem deklaratif orang yang berhak atas merek bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya tetapi haruslah orang-orang yang sungguh-sungguh menggunakan merek tersebut. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa dalam sistem deklaratif orang yang tidak mendaftarkan mereknya pun tetap dilindungi secara hukum. Hal ini adalah kelebihan dari sistem deklaratif.
Sistem Perlindungan Merek di Indonesia
Di Indonesia sendiri sistem yang dianut adalah system konstitutif (First to File), hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka 5 UU MIG yang menyebutkan “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Dan untuk selanjutnya kembali dipertegas dalam Pasal 3 UU MIG yakni “hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar”. Yang dimaksud dengan "terdaftar" adalah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan Menteri untuk diterbitkan sertifikat. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Implikasi dari pendaftaran merek ini adalah pemilik merek mendapatkan perlindungan baik secara preventif maupun respresif atas produk yang didaftarkannya.Perlindungan merek dilakukan sebagai upaya preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif mencakup perlindungan sebelum terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum terhadap merek dan merek terkenal. Dalam hal ini sangat bergantung pada pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya agar mendapat perlindungan hukum. Perlindungan hukum represif terhadap merek dilakukan dengan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran merek sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/ atau perjanjian penggunaan merek.
​​
​​
Ahmad Affan Maulana, S.H.
Paralegal Potu And Partners Law Office
URGENSI PERAN NOTARIS DALAM PROSES PERDAGANGAN KARBON
Kualitas udara di dunia semakin hari semakin menurun secara global sehingga membuat adanya pemanasan global. Hal tersebut membuat adanya kesadaran pemerintah untuk membuat regulasi terkait penekanan karbon. Berdasarkan Protokol Kyoto tahun 1997 adanya kesepakatan para pemerintah negara untuk menurunkan GRK atau emisi gas rumah kaca yang memastikan bahwa suhu global seharusnya tidak melebihi 2 derajat celcisus atau 1,5 derajat celcius. Strategi yang dibawakan adalah dengan memberikan metode jual beli karbon.​Indonesia telah memberikan redaksi mengenai perdagangan karbon. Mekanisme yang diberikan adalah dengan pemerintah telah menetapkan batas maksimum emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dengan menentukan batas sektor yang meliputi sektor energi, limbah, proses industri, penggunaan produk, pertanian atau kehutanan harus meminimalkan produksi karbon. Kemudian pihak yang berhasil untuk menurunkan jumlah emisi karbonnya dapat menjualkan sisa batas emisinya kepada pihak yang belum mampu mereduksi emisi karbon tersebut. Pada upaya ini atau yang disebut dengan Net Zero Emission, hal mengenai pengaturan, perizinan, pengawasan, dan pengembangan perdagangan karbon melalui bursa karbon dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Net Zero Emission diakomodasikan dalam Peraturan OJK Nomor 14 tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.​Notaris merupakan pejabat publik yang berwenang dalam membuat akta autentik baik mengenai perbuatan, perjanjian, maupun penetapan yang diharuskan oleh Peraturan perUndang-Undangan. Maka peran Notaris dalam perdagangan karbon ini seharusnya Pihak Notaris dapat untuk memberikan keabsahan atas transaksi yang dilakukan. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan transaksi penyelenggara bursa karbon dapat mengadakan perikatan dengan pihak lain terkait pelaksanaan uji tuntas nasabah dan/atau pembuatan nomor tunggal identitas pengguna jasa. Pada hal transaksi ini berdasarkan Pasal 7 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon yang menyatakan :​
Penyelenggara Bursa Karbon wajib menyediakan sistem perdagangan Unit Karbon yang mencakup :
a. pertemuan penawaran jual dan beli Unit Karbon; dan
b. penyelesaian transaksi Unit Karbon, baik penyelesaian dana maupun Unit Karbon,antar Pihak dalam satu sektor yang sama dan/atau dalam sektor yang berbeda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.​
Maka dalam hal ini, notaris berperan dalam mempertanggungjawabkan terhadap akta yang dibuatnya. Tanggungjawab tersebut berupa keperdataan terhadap kebenaran materiil atas perikatan tersebut, tanggungawab berupa kepidanaan atas perikatan tersebut, tanggungjawab atas keabsahan diatas kesepakatan berdasarkan Kode Etik Notaris.​ Peran Notaris dalam perdagangan karbon sangat krusial dalam memastikan keabsahan, perlindungan hukum, serta kepastian dalam setiap transaksi yang dilakukan. Hal ini dimulai pengesahan perjanjian, verifikasi dokumen hukum, hingga pembuatan akta otentik, Notaris berperan dalam menjaga integritas perdagangan karbon dan melindungi hak-hak para pihak yang terlibat. Perdagangan karbon diharapkan dapat berjalan lebih transparan, legal, dan terjamin sesuai dengan regulasi yang berlaku baik pada tingkat nasional maupun internasional.​
​
Christine Divia Anastasia
Paralegal Potu and Partners Law Office
RELEVANSI KEBIJAKAN SURAT KETERANGAN CATATAN KEPOLISIAN DI INDONESIA : TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA BAGI KESEJAHTERAAN EKS NARAPIDANA
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai doktrin sejatinya telah diterima secara universal sebagai suatu moral, kerangka politik dan hukum, serta sebagai suatu pedoman bagi setiap negara termasuk Indonesia. Peran HAM sebagai aspek landasan berdirinya suatu negara memegang peran yang sangat penting. Hal ini dikarenakan keberadaan HAM pada suatu negara mampu menjadi penghalau kekuasaan yang otoriter berikut penindasannya. Oleh karena peran penting itulah, di Indonesia penegakan HAM sangat dijunjung tinggi bahkan menjadi tolak ukur tegaknya proses keadilan yang sedang berjalan.
​
Konsep HAM di Indonesia tidak hanya menyentuh pada aspek hukum saja namun juga harus dapat diterapkan pada segala aspek kehidupan termasuk keadilan dalam menciptakan kesejahteraan. Dalam hal memperoleh kesejahteraan sejatinya tidak dapat dilepaskan dengan kemudahan akses memperoleh pekerjaan di Indonesia. Kemudahan akses tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya diskriminasi dalam hal apapun untuk mendapatkannya. Namun, dengan adanya keberadaan SKCK yang kerap digunakan sebagai syarat melamar pekerjaan sejatinya telah membuka ruang pencideraan HAM sebagai consensus warga negara yang termaktub dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Ketidakadilan dalam memperoleh pekerjaan kerap dirasakan oleh eks narapidana karena adanya kebijakan SKCK sebagai syarat memperoleh pekerjaan di beberapa lowongan kerja di Indonesia.
​
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika suatu perusahaan atau instansi pemerintahan membuka lowongan kerja dan terdapat eks narapidana yang mendaftar pada posisi pekerjaan yang dibutuhkan, maka eks narapidana cenderung akan mendapatkan stigma negatif dari para rekrutmen. Kekhawatiran pada pemilik lapangan kerja terhadap kehadiran eks narapidana tidak lain adalah akan melakukan kejahatan serupa maupun yang lebih parah ketika diterima sebagai pekerja atau karyawan pada suatu instansi maupun perusahaan. Padahal, eks narapidana telah mendapatkan pembinaan dan dibekali keterampilan saat menjalani hukuman dan berada di lembaga pemasyarakatan. Hal ini sebagai upaya agar ketika eks narapidana telah selesai menjalani masa hukuman, eks narapidana dapat diterima di kalangan masyarakat khususnya dalam hal mencari pekerjaan yang lebih baik sehingga eks narapidana dapat meningkatkan taraf hidupnya. Selain agar eks narapidana dapat meningkatkan taraf hidupnya saat masa hukuman telah selesai, Pembinaan yang dilakukan kepada narapidana saat di lembaga pemasyarakatan juga memiliki tujuan agar angka kejahatan di Indonesia dapat diturunkan oleh karena angka kemiskinan yang semakin tinggi dapat teratasi.
Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian telah menjadi landasan hukum penerbitan SKCK di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa “Penerbitan SKCK dilakukan minimal untuk keperluan: a. melamar pekerjaan; b…”
Kemudian, Pasal 15 ayat (2) huruf b angka 1 Jo angka 2 menyebutkan bahwa Pencetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan: 1. apabila pemohon tidak ditemukan catatan kepolisian dituliskan “bahwa nama tersebut di atas tidak memiliki catatan atau keterlibatan dalam kasus kriminal apapun”; dan 2. apabila pemohon memiliki catatan kepolisian dituliskan status hukum, jenis dan pasal tindak pidana yang dilakukan.
Keberadaan SKCK sebagai syarat melamar pekerjaan di beberapa lowongan kerja di Indonesia telah menciptakan kecemasan diri bagi eks narapidana dalam melanjutkan hidup. Beberapa tulisan pada surat kabar di Indonesia menunjukkan bahwa sejatinya keberadaan SKCK telah mendapatkan respon yang kontradiktif di masyarakat. Salah satu tulisan tersebut yakni artikel yang diterbitkan oleh Liputan6.com yang berjudul “SKCK, Horor Mantan Narapidana Melanjutkan Hidup”. Pada artikel tersebut, menunjukkan bahwa terdapat eks narapidana berinisial AJ. Pria berusia 26 tahun itu merupakan mantan tahanan kasus kenakalan remaja pada 2017 yang dalam kasus tersebut Pengadilan Bogor Kota memutus hukuman 8 bulan penjara untuk AJ. Dalam hal ini AJ dengan sengaja memalsukan identitas atau status hukumnya sebagai mantan eks narapidana saat melakukan permohonan penerbitan SKCK di kepolisian setempat. Hal ini dilakukan AJ oleh karena kekhawatiran tidak akan pernah memperoleh akses dalam mendapat pekerjaan di Indonesia apabila menggunakan SKCK yang menerangkan bahwa dirinya pernah terlibat tindak pidana.
​
Fakta pemalsuan identitas oleh mantan narapidana berinisial AJ pada dasarnya merupakan konsekuensi oleh karena adanya kebijakan yang jauh dari kata “adil” dan “setara”. Seseorang yang telah menjalani masa hukuman bahkan telah mendapat pembinaan sejatinya tidak lagi menjadi subjek yang dapat dipersalahkan secara terus menerus hingga berimplikasi pada minimnya akses memperoleh pekerjaan.
Ketentuan pasal tersebut pada SKCK sejatinya telah menjadi label tertulis bagi eks narapidana sebagai subjek hukum yang layak untuk di diskriminasi di negeri sendiri. Pencideraan HAM semakin terlihat dengan adanya kebijakan yang telah menggeser hakikat keadilan namun tetap dipertahankan oleh para pemangku kebijakan. Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua sejatinya hukum selalu menolak hal yang bertentangan dan tidak layak. Dengan melihat berbagai fenomena adanya diskriminasi oleh karena keberadaan SKCK bagi eks narapidana, masih relevankah kebijakan tersebut untuk terus diterapkan?
​
Berikan pendapatmu, mari berdiskusi bersama pada ruang baca Potu And Partners Law Office..
​
Referensi
Artikel dengan Judul “SKCK, Horor Mantan Narapidana Melanjutkan Hidup” https://www.liputan6.com/news/read/4111557/skck-horor-mantan-narapidana-melanjutkan-hidup?page=2 yang diakses pada 20 Agustus 2024
Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian
​​
Reni Putri Anggraeni
Paralegal Potu And Partners Law Office
KETIDAKPASTIAN HUKUM COVERNOTE NOTARIS DALAM AKTIVITAS KREDIT PERBANKAN
Pada era globalisasi saat ini, para pemangku kebijakan di Indonesia secara aktif melakukan kolaborasi dalam memperkuat berbagai bidang untuk menciptakan kesejahteraan di masyarakat. Salah satu upaya pembangunan ini adalah dengan mengoptimalkan aktivitas perbankan, yang merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian nasional.
Bank merupakan badan usaha yang bertujuan untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit maupun bentuk lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Aktivitas kredit sebagai salah satu kegiatan usaha perbankan sejatinya memiliki risiko yang tinggi bagi pihak bank apabila dalam proses pencairan kreditnya tidak dilandasi dengan prinsip kehati-hatian. Oleh karena tingginya risiko aktivitas kredit tersebut, Pihak Bank atau yang kerap disebut sebagai kreditur senantiasa meminta jaminan dari harta milik peminjam/debitur yang akan dilekatkan sebagai agunan apabila terjadi ketidakmampuan debitur dalam menyelesaikan utangnya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati. Oleh karena itu, agunan debitur harus diperiksa secara menyeluruh oleh pihak bank dengan bantuan notaris. Tindakan ini selaras dengan prinsip kehati-hatian perbankan dalam menjalankan kegiatan pemberian kredit kepada debitur.
Normalnya, demi kepastian hukum kreditur, pencairan kredit dapat dilakukan pihak kreditur apabila Pihak Kreditur telah mengantongi sertipikat hak tanggungan yang menjadi salah satu pekerjaan dari notaris dalam melancarkan aktivitas perjanjian kredit antara kreditur dan debitur. Namun, oleh karena pembuatan sertipikat hak tanggungan memerlukan waktu yang tidak singkat, maka pihak bank akan tetap melangsungkan pencairan kredit terhadap debitur dengan bantuan notaris. Peran notaris dalam hal ini adalah melakukan pengecekan terhadap jaminan debitur hingga sertipikat hak tanggungan dapat diterbitkan sebagai pegangan atau alas kepastian hukum bagi kreditur.
Namun, kenormalan dalam proses pencairan kredit berbanding terbalik dengan keadaan di lapangan. Hal ini dikarenakan bahwa yang sering terjadi adalah adanya kasus-kasus jaminan debitur yang kepemilikannya masih berupa segel, girik, atau petok atas nama calon nasabah debitur. Sehingga, surat kepemilikan yang sah (Sertipikat Hak Milik) belum atas nama debitur. Kendati demikian, Notaris yang ditunjuk Pihak Bank untuk mempermudah dan melancarkan aktivitas perjanjian kredit akan membantu dalam proses pendaftaran hak atas tanah hingga terbitnya sertipikat hak tanggungan, akan mengeluarkan covernote notaris sebagai kesanggupan dalam pengurusan SHM dan SHT tersebut sehingga pencairan kredit dapat tetap dilakukan Pihak Bank kepada debitur.
Covernote notaris dapat didefinisikan sebagai surat keterangan atau sering diistilahkan sebagai catatan penutup yang dibuat oleh Notaris. Covernote dikeluarkan oleh Notaris karena Notaris belum tuntas menyelesaikan pekerjaannya dalam menerbitkan akta otentik.
Keberadaan covernote notaris sebagai pegangan Pihak Kreditur dalam melakukan pencairan kredit bukanlah tanpa masalah. Hal ini dikarenakan bahwa sejatinya covernote notaris tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik seperti halnya kewenangan notaris dan juga bukan merupakan produk hukum yang melekat dalam kewenangan notaris seperti halnya yang termaktub dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Pasal 1 angka 1 : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Pasal 15 :
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketiadaan kewenangan Notaris dalam membuat covernote juga tidak dapat di klasifikasikannya covernote sebagai akta otentik maka sejatinya terhadap produk notaris tersebut telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan risiko yang tinggi bagi pihak kreditur. Apabila dalam pengurusan SHM notaris tidak melaksanakan dengan prinsip kehati-hatian atau lalai melaksanakan isi dari covernote hingga terdapat permasalahan SHT tidak dapat diterbitkan, tentunya hal ini akan memiliki implikasi yang buruk bagi kreditur. Adapun risiko bagi kreditur adalah apabila terjadi gagal bayar dari debitur sementara pihak kreditur tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengeksekusi objek jaminan oleh karena SHT tidak dapat diterbitkan. Melihat permasalahan ini, apabila terjadi sengketa terkait pengeluaran dan pelaksanaan Covernote, sering kali Notaris/PPAT menghadapi sanksi moral. Sanksi ini biasanya berupa berkurangnya kepercayaan bank terhadap Notaris/PPAT tersebut, karena ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan isi Covernote sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Tidak ada sanksi administratif berupa pemberhentian sementara ataupun ganti kerugian yang menjerat notaris oleh karena kelalaiannya dalam penerbitan suatu covernote yang merugikan, maka tidak heran jika dengan penerbitan covernote tersebut banyak kasus hukum yang terjadi. Salah satu kasus implikasi adanya covernote yang merugikan adalah terjadi di Kabupaten Mamuju. Adapun permasalahan yang terjadi adalah ketika covernote notaris telah diterbitkan untuk pencairan kredit, ternyata dalam pengurusan sertipikat hak tanggungan debitur, notaris tidak memverifikasi keadaan jaminan tersebut sebelumnya. Selanjutnya, ketika pihak kreditur atau bank melakukan cek kepada kantor pertanahan, pihak bank mendapati bahwa SHM tersebut terdaftar tidak atas nama debitur. Kenyataan berbeda dengan apa yang dituliskan notaris dalam covernotenya. Notaris yang menjadi rekan bank tersebut menjelaskan bahwa dirinya telah melakukan tahap verifikasi hak jaminan debitur. Covernote notaris “xxx” Nomor 123456789 tertanggal 010101 menjelaskan bahwa SHM debitur telah diperiksa dan sesuai dengan data-data yang terdapat di kantor pertanahan serta tidak terdapat permasalahan pidana maupun perdata dan akan dilakukan penerbitan sertipikat hak tanggungan.
Lex semper dabit remedium, sejatinya hukum akan selalu memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalah hukum yang terjadi. Melihat kompleksitas masalah dengan tidak adanya kepastian hukum covernote notaris, maka diperlukan payung hukum keberadaan covernote notaris dalam pembaharuan hukum ke depan. Langkah yang dapat diambil sebagai solusi atas masalah ini adalah memasukkan penerbitan covernote kedalam kewenangan notaris pada Pasal 15 ayat 2 UU Jabatan Notaris dengan ditentukan pula sanksi administratif dan ganti kerugian yang akan diterima oleh notaris apabila lalai dalam melaksanakan isi dari covernote sebagai salah satu tanggung jawabnya. Oleh karenanya, perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan urgensi yang harus dilaksanakan oleh para pemangku kebijakan.
Referensi :
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
Dewi Rachmayania, Agus Suwandono, Covernote Notaris Dalam Perjanjian Kredit Dalam Perspektif Hukum Jaminan, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Unpad ISSN: 2614-3542 EISSN: 2614-3550 Volume 1, Nomor 1, Desember 2017
Cedric Sean , Novyta Uktolseja , Nancy Silvana Haliwela, Kekuatan Hukum Covernote Notaris Dalam Proses Takeover Perjanjian Kredit, Kanjoli Bussiness Law Review, Volume 1 Nomor 2, Desember 2023: h. 113-124 E-ISSN: 2988-7682 : 10.47268/kanjoli.v1i2.12082.
Reni Putri Anggraeni
Paralegal Potu And Partners Law Office
​